Makalah tarikh Tasryi Dinamika 4 madzhab
MAKALAH
DINAMIKA IJTIHAD PADA MASA ULAMA PEMBANGUNAN MADZHAB SERTA FAKTOR SOSIAL YANG MELATAR BELAKANGINYA
Di susun untuk memenuhi tugas individu
Mata kuliah: Tarikh Tasyri'
Dosen pengempu: Mudzakir Amin, M. Ag.
Disusun oleh
Apud
7.01.19.0019
ILMU AL QURAN DAN TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM CIREBON
JL. TUPAREV NO 111 CIREBON
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, kesehatan sehingga saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul Bab sholat fardhu dengan tepat waktu.
Tujuan saya membuat makalah ini untuk memenuhi tugas individu mata kuliah Tarikh Tasyri' saya mengucapkan banyak terimaksih kepada pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari banyak kesalahan dalam makalah ini
Semoga makalah ini dapat dipahami serta bermanfaat bagi kita semua
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
SUBSTANSI KAJIAN.................................................................................................. DASAR PEMIKIRAN DAN PERKEMBANGAN MADZHAB HUKUM ........................................ FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERKEMBANGAN EMPAT MADZHAB...................................
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berbicara tentang permasalahan Tarikh Tasyri’ tidak akan lepas dari faktor yudikatif, eksekutif dan kondisi masyarakat yang menjadi aktor dalam berkembang atau menyusutnya sejarah Tarikh Tasyri’. Setiap pergantian generasi selalu saja ada fenomena-fenomena yang menarik dari berkembangnya tarikh tasyri’ dimulai dari masa Nabi sampai sekarang ini.Pada masa Nabi Tasyri’ langsung diterima dari tuhan yang menciptakan syari’at itu sendiri, dan perkembangan yang dilakukan Nabi selalu terawasi. Jadi tidak diragukan lagi tentang kebenarannya, posisi nabi sebagai yudikatif dan aksekutif selalu menjadi acuan bagi masyarkat Arab pada masa itu.
Perkembangan yang terjadi pada ulama-ulama Hijaz menjadi Ahlul Hadist dan Ra’yi adalah pengaruh dari pemikiran Ali, Ibnu Mas’ud, dan Umar bin Khatab yang sangat terkenal banyak menggunakan Ra’yu dalam menetapkan hukum suatu masalah. Dalam hal ini di kalangan para tabi’in banyak yang terpengaruh oleh cara istimbat hukum para sahabat tersebut, para tabi’in di Iraq terpengaruh oleh metode ijtihad yang digunakan oleh Ali sedangkan ulama’ Hijaz dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Abbas yang tidak menggunakan Ra’yu.Timbulnya mazhab sunny adalah perkembangn dari ulama Ahlul Ra’yu, termaksud juga ulama mazhab yaitu, mazhab Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbal.
Perbedaan pendapat dalam penerapan hukum-hukum syari’ah pada masa ini sangat berbeda, padahal kita ketahui bahwa Imam Safi’i adalah muridnya Imam Malik, tetapi kenapa dalam pemahaman tentang hukumnya berbeda. Dan yang kemudian menjadi pertanyaan apakah ada kepentingan dibalik perbedaan tersebut, apakah para imam ingin menciptakan sekte-sekte sendiri, apakah perbebedaan yang signifikan itu karena dilatar belakangi oleh tempat domisili mereka seperti halnya Imam Safi’i dengan background Iraq dan Mesir sehingga memunculkan istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid, kemudian Imam Abu Hanifah yang dipengruhi oleh daerah Persia, dan Imam Malik yang dilatar belakangi oleh negeri Hijaz, lalu Imam Hambali yang berlatar belakang sebagai imam di Bagdad, atau ada faktor-faktor lainnya.
2. Rumusan masalah
1.Bagai mana dinamika tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab ?
2.Apa yang melatarbelakangi perkembangan tarikh tasyiri’ pada masa imam mazhab?
3.Bagaimana model ijtihad para imam mazhab terkait dengan tasyiri’?
4.Faktor-faktor apa yang menyebabkan berkembangnya empat mazhab?
3. Tujuan
Agar pembaca dapat mengetahui dinamika tarikh tasyri’ pada masa imam mazhab, Untuk memberi pemahaman tentang hal yang melatarbelakangi perkembangan tarikh tasyiri’ pada masa imam mazhab, Mengetahui model ijtihad para imam mazhab terkait dengan tasyiri’, Memahami Faktor-faktor apa yang menyebabkan berkembangnya empat mazhab.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SUBTANSI KAJIAN
Menurut Bahasa Madzhab berasal dari kata sifat dan kata yang menunjukkan tempat yang diambil dari fi’il madli “dzahaba” yang memiliki arti Pergi. Namun dapat pula memiliki arti “al-Ra’yu” artinya pendapat.Sedangkan pengertian madzhab menurut istilah kalangan umat islam adalah “Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seseorang ahli dalam urusan agama, baik dalam ibadah maupun lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian madzhab ialah jalan pikiran atau pendapat para mujtahid atau seorang ulama mengenai urusan agama yang baru muncul, yang tidak ditemukan nash-nashnya dalam Al-Quran dan Hadits serta tidak terjadi pada masa Rasulullah, Sahabat dan Tabi’in.
Pada masa setelah Rasulullah, yaitu masa tabi’in masih belum berkembang secara pesat tentang madzhab, tapi dalam zaman yang selanjutnya yaitu zaman tabi’in-tabi’in mulai bermunculan dan semakin subur para penentang-penentang hadits, yaitu sekitar tahun 300 hijriyah dan pada zaman inilah titik patokan awal timbulnya madzhab karena pada masa ini banyak orang yang mendustakan hadits yang terkelompokkan menjadi beberapa golongan seperti berikut :
a. Golongan yang meletakkan suatu hadits atau dengan kata lain tidak menggunakan hadits dalam landasan hukum, sehingga mereka tidak pernah mendengarkannya yang kemudian mereka meremehkan hadits tersebut. Golongan ini disebut Kafir Zintik.
b. Golongan orang-orang yang suka beribadah, namun mereka enggan untuk belajar. Mereka hanya mengutamakan dan berpegang pada hadits-hadits Dhoif tentang keutamaan-keutamaan dalam menjalankan ibadah.
c. Golongan yang ingin tampil beda dengan golongan lain yang hanya mencari hadits-hadits aneh..
Akibat dari beberapa golongan tersebut banyak orang-orang pada saat itu memutar balikkan hadits, sehingga menyebabkan hadits-hadits yang telah beredar pada saat itu semakin tidak dipercayai lagi oleh masyarakat. Maka ulama-ulama pada zaman itu berinisiatif untuk melakukan penyelamatan hadits-hadits yang masih murni dan baik. Fenomena ini memang menjadi latar belakangnya, sehingga pada masa ini banyak terjadi ijtihad dengan memakai pola pikir pendapat manusia. Hal ini terjadi karena terlalu banyak peristiwa-peristiwa baru yang dimasa Rasul, Sahabat, Tabi’in tidak pernah terjadi. Selain itu di Irak dan Madinah pun terdapat pemikiran sendiri tentang islam, dua kota tersebut menjadi pusat agama islam, khususnya dalam ilmu fiqih. Akan tetapi negara-negara yang masih di bawah pengaruh negara Iraq dan Madinah, dalam posisi menguatnya kemajuan-kemajuan yang berdasarkan agama. Antara pandangan Ulama Madinah dan Ulama Iraq terjadi perbedaan pola pikir. Orang-orang Madinah kebanyakan dalam memutuskan suatu perkara hukum banyak mengacu pada kebijakan Abu Bakar, Umar dan Ustman, serta fatwa-fatwa mereka dan fatwa Ulama Sahabat seperti Zaid bin Sabit dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abu Said. Sedangkan Ulama-ulama Iraq mereka lebih banyak mengacu kepada kebijakan Sayidina Ali dan fatwa-fatwa beliau sedangkan dalam hadits mereka banyak mengikuti riwayat Abdullah bin Mas’ud.
Perbedaan antar madzhab dan awal mula dibukukannya pendapat-pendapat dari masing-masing madzhab itu terjadi setelah munculnya sekolah-sekolah yang berorientasi pada fiqih. Seperti sekolah yang terdapat di kota Iraq yang mempunyai jalan pikir atau kurikulum sendiri, kemudian muncul di kota Syam dan akhirnya orang Syiah pun memiliki sekolah sendiri, kemudian jadilah setelah itu di setiap sekolah yang mempunyai seorang tokoh mempunyai banyak pengikut yaitu murid-murid mereka sendiri yang kemudian banyak meriwayatkan hukum dari tokoh-tokoh tersebut, yang senantiasa berkembang kepada murid-murid di sekolah tersebut dan kemudian riwayat-riwayat terdahulu menjadi pedoman dalam menentukan sebuah hukum. Seperti halnya di Rufa’ yang terdapat seorang tokoh guru besar seperti Abu Ghorifah, Madinah yang memiliki tokoh Maliki, Mesir terdapat tokoh Imam Lais bin Said.
adanya faktor lain yaitu faktor turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong diantaranya
a.. Semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam sehingga hukum Islam pun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
b.Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih yang berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang fiqih yang mereka namai denga Al-Madrasah..
c. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim terdahulu dengan muslim pada zaman itu tentang acuan dalam menyelesaikan masalah politik seperti pengangkatan kholifah, ikut memberikan andil bagi kemunculan berbagai madzhab dalam hukum Islam.
B. DASAR PEMIKIRAN DAN PERKEMBANGAN MADZHAB HUKUM ISLAM
A. Madzhab Imam Hanafi
a) Dinamika Ijtihad pada masa Imam Hanafi(80 – 150 H / 699-767 M)
Pada awalnya Imam Hanafi (Abu hanifah) adalah seorang pedagang, atas anjuran Al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran Irak (ra’yu). Semua ilmu yang di pelajari bertalian dengan keagamaan. Mula–mula beliau mempelajari hukum agama, kemudian ilmu kalam. Akan tetapi, difokuskan kepada masalah fiqh saja, tanpa mengecilkan arti ilmu yang lain, dan Abu Hanifah sendiri memang sangat tertarik mempelajari ilmu fiqih yang merangkum berbagai aspek kehidupan. Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Beliau banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.
Beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah dalam penerapan tarikh tasyri’, diantaranya :
1. Bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘Ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal dunia. Adapun alasan yang digunakan adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi Yang artinya“ Nabi Muhammad SAW telah menjual benda wakaf”.(Baihaqi, VI, 1352-E: 163)
2. Bahwa Perempuan menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu, menurutnya perempuan boleh menjadi hakim yang menagani perkara perdata. Dengan demikian metode ijtihad yang digunakannya adalah Qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-Ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai far’i.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya beliau mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa tersebut.
b) Sumber – Sumber Imam Hanafi
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan lain-lain. Sumber-sumber hukum madzhab hanafi, Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ sahabat, Pendapat sahabat pribadi, Qiyas, Istihsan, ‘Urf
1) Al-Quran, Hadist dan Ijma’
Bagi mazhab hanafi al-quran, sunnah dan ijma’ merupakan sumber hukum yang terpenting, jika hukum tersebut tidak terdapat didalam al-quran maka meruju’ ke hadist dan jika tidak terdapat didalam hadist maka meruju’ ke ijma’. Terkait dengan sunnah, imam hanafi hanya menggunakan hadist yang sahih dan masyhur.
2) Qiyas (Deduksi Analogis)
Konsep yang di utarakan oleh hanifah bahwa beliau tidak harus menerima rumusan hukum dari para tabi’in atau dari muridnya sahabat, dia memandang bahwa dirinya setara dengan para tabi’in dan melakukan atau menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri[5].
3) Istihsan (Preperensi)
Istihsan sederhananya adalah satu bukti yang lebih disukai dari pada bukti lainnya karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya, walupun bukti yang dugunakan ini lebih lemah dari pada bukti lain.
4) ‘Urf (Tradisi Lokal)
Tradisi lokal diberi bobot hukum dalam wilayah dimana tidak terdapat tradisi islam yang mengikat, melalui penerapan prinsip ini tradisi-tradisi yang beragam dalam budaya yang berbeda didalam dunia islam menjadi sumber hukum.
c) Metode dan Cara Ijtihat Abu Hanifah
Metode ijtihad yang digunakan oleh imam hanafi adalah :
1. Metode Dialektika
Dengan menggunakan analogi terhadap suatu permasalahan, metode yang digunakan oleh Hanafi adalah independen dalam artian lebih menjurus kepada pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.
2. Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum dalam satu nash yang disebabkan adanya nash lain yang menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan maqasid al-syari’ah.
Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari ungkapannya yaitu “ sungguh, saya berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati disana. Jika tidak saya mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan atsar shahihah yang tersiar di kalangan ulama tsiqah. Jika tidak aku dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain. Bila kasus tersebut pernah diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad”.
B. Madzhab Imam Malik
a) Dinamika Ijtihad Pada Masa Imam Malik (93-179 H)
Ditengah bekembangnya Mazhab hanafi, Imam Maliki memposisikan diri sebagai ulama’ Ahlu Al-Hadist, yang berpijak kepada tekstualitas dan memasukkan beberapa konsep Dhuruf wa Al-Hal serta diikuti dengan maslahah mursalah. Fikiran Imam Malik pada keseluruhannya hampir sama dengan ulama’ di Iraq, khusunya dalam ketergantungannya baik dalam praktek yang dipandang ideal maupun dalam tradisi yang hidup dari para ulama.
Tujuan imam malik adalah ingin mengemukakan doktrin-doktrin yang deterima dari kalangan ulama’ madinah dan begitu jauh konsep-konsepnya didasari pada pemikiran perorangan dan wakil aliran madinah tersebut. Didalam menggabungkan penggunaan fikiran dengan ketergantungan kepada tradisi yang hidup, Malik menampakan ciri khas Madinah, sehingga fiqih yang dikarang oleh Imam Maliki dilatar belakangi oleh background Madinah.
Dalam berbagai hal banyak ditemui bahwa pemikiran imam Malik banyak mengambil dari tradisi masyrakat Madinah yang didasari pertimbangan-pertimbangan yang matang. Masyarakat penduduk Madinah banyak menerima fatwah-fatwah imam Maliki walaupun kondisi masyarakat yang beragam aliran, ada beberapa faktor yang mempengaruhi fatwa-fatwa imam Malik antara lain, budaya, sifat, dan kondisi masyarakat pada masa itu yang plural, sehingga imam Malik menggunakan teori maslahah mursalah.
b) Sumber-Sumber Hukum Imam Maliki
Dalam menentukan hukum-hukum, imam Maliki memeberi runtutan pengambilan sumber hukum, adapun sumber-sumber hukum yang digunakan imam Malik antara lain:Al-Quran, Hadist (yang berkualitas shahih dan masyhur), Ijma’ (amalan ulama’ madinah ketika itu), Qiyas (analogis), Maslahah mursalah (kepentingan umum)Konsep maslahah mursalah yang di gunakan oleh imam Malik di dasari oleh kondisi masyarkat Madinah, walaupun banyak para ulama yang tidak setuju dengan penggunaan metode maslahah mursalah dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap metode tersebut.
Imam Malik lebih banyak menggunakan ijma’ dalam menentukan sebuah hukum, khusunya hukum-hukum baru yang tidak terdapat didalam al-Quran dan Hadits.
c) Metode Ijtihad Imam Malik
Hal-hal yang membuat metodenya istimewa, yang memberi pengaruh dalam perluasan lapangan perselisihan atau perbedaan antara beliau sendiri dengan yang lainnya, yaitu:
1) Amal atau perbuatan Penduduk Madinah, adalah sebagai hujjah bagi Maliki dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar Ahad.
2) Mashlahah Mursalah Istishlah yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan maksud syara’ yang keadaan maksudnya dapat diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan dengan maslahat lain. Maka ketika seperti ini Malik mendahulukan beramal dengannya.
3) Perkataan Sahabat
4) As-Sunnah
5) Beliau berpendapat menggunakan istihsan dalam berbagai masalah, seperti jaminan pekerjaan, menolong pemilik dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan Qisas harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah; hanya saja Malik tidak meluaskan dalam pendapatnya tidak seprti madzhab Hanafi.
C. Mazhab Imam Syafi’i
a . Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam syafi’i (767-820 M)
Pada awal terbentuknya Mazhab Imam Syafi’i bertepatan dengan awal pertengahan Khalifah Bani Abbas berkisar antara kekhalifahan Abu Ja’far Almansur (754-775 M) dan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M).
Pola penalaran Imam syafi’i yang sangan kompleks dalam menyikapi dua aliran mazhab tersebut. Imam Syafi’i dipandang seorang anggota aliran Madinah dan berjasa dalam keberhasilan Ahli Hadist dan hukum islam dengan bukti emperis yang telah di berikan oleh Syafi’i yantu kitab Ar-Risalah yang memuat tentang Al-Qur’an, Al-Hadist dan Usul Fiqh, walaupun pada dasarnya banyak yang membantah tentang eksistensi Usul fiqh di dalam kitab Ar-Risalah.
Imam Syafi’i berusaha mengembangkan eksinitas hukum yang bisa menjawab permasalahan-permasalahan pada masa itu khususnya di Mesir dan Iraq, dengan mempelajari fiqh-fiqh Imam Malik dan Hanafi, Imam Syafi’i memperoleh perbandingan dan mengetahui kelemahan-kelemahan kedua Imam tersebut[12], maka Imam Syafi’i berusaha menciptakan yang lebih kompleks dari kedua imam tersebut. Prinsip dasarnya produk-produk fiqh Imam Syafi’i masih berbau pemikiran Imam Maliki dan Hanafi, karena bertapapun pengaruh gurunya imam Malik ulama’ madinah yang Ahli ‘Ubudiah dan Imam Hanafi ulama hijaz (Sufi) tidak bisa hilang dari muridnya.
Pada prinsipnya Imam Syafi’i hanya mengakui cara berfikir analogis dan sistematis yang terbatas, tidak menerima pendapat-pendapat arbitrer dan ketetapan-ketetapan yang bebas[13], ini merupakan suatu pembaharuan penting dengan pembaharuan tersebut teori hukum Syafi’i sangat berbeda dengan teori aliran hukum lama, dalam menerima hadist Imam Syafi’i tetap mengikuti aliran lama yaitu guru-gurunnya, dan dia hanya mengambil prinsip yang hanya menimbulkan ketidak fleksibelan. Berkenaan dengan hadist Nabi, Imam Syafi’i lebih teliti dalam memilahnya, dia hanya menggunakan hadist mutawatir dan ahad saja yang dijadikan sebagai sumber hukum ke dua setelah Al-Quran.
Masyarakat pada masa itu sudah mengalami kemajuan yang pesat dari segi keilmuan, sastra, budaya, perekonomian dan biro-biro pemerintahan[14]. Dibidang keilmuan sudah mulai menterjemahkan buku-buku keilmuan romawi kedalam bahasa Persia, dari segi sastra telah muncul seni-seni ukir dan lukis, perekonomianpun sudah tertata dengan baik selaras dengan berjalannya biro-biro pemerintahan seperti lembaga peradilan dan yang lainnya.
Padamulanya Imam Syafi’i hanya mengarang kitab usul fiqh yang diberi nama Ar-Risalah yang dikarang oleh beliau di iraq, kitab ini ditulis atas permintaan Abdurrahman bin Al-Mahdi di makkah yang meminta penjelasan kepada imam Syafi’i tentang suatu kitab yang mencakup keilmuan Al-Quran, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Setelah ditulis oleh Imam Syafi’i yang di Bantu oleh murid-muridnya lalu dikirim ke Abdurrahan bin Al-Mahdi di Makkah, di kerenakan kitab tersebut dikirim ke makkah maka kitab yang dikarang olek Syafi’i diberi nama Ar-Risalah qadimah (Qaul Qadim[15]).
Sebagai bapak ilmu usul fiqh, Imam Safi’i sangat berjasa dalam penerapan hukum islam terkait dengan keilmuan dan keluasan berpikir, ketertarikan konsep yang ditawarkan oleh imam Syafi’i memicu daya tarik dari kalangan imam-imam yang ada di Iraq, Mesir, Yaman dan Makkah. sehingga proses penyebaran Mazhab Syafi’i sangat pesat
Setelah Syafi’i berada di Iraq beliau pindah ke mesir, di mesir Syafi’i juga menulis sebuah kitab fiqh yang dikenal dengan Qaul Jadid[16] yaitu fiqh yang disesuaikan dengan kondisi orang-orang yang ada di mesir
Pada masa ini perkembangan tasyri’ sudah berjalan dengan baik, pengadilan-pengadilan sudah terbentuk, pembukuan kitab-kitab fiqh mulai beredar. Buku-buku yang notabennya banyak dikarang oleh kaum lelaki, factor tersebut menyebabkan dari kalangan wanita tidak begitu berperan dalam perkembangan keilmuan, tetapi tetap saja pengaruh dan kondisi orang arab yang keras dan masih berbau badui dan mazhab yang berbeda mewarnai perjalanan tasyri’ pada masa itu.
b) Sumber-Sumber Hukum Imam Syafi’i
dalam menggali hukum Sari’ah, Imam Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal ini di utarakan Imam Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah:
1. Al-Qur’an, Konsep Al-Quran menurut para ulama’ dan Syafi’i sama yaitu suatu sumber hukum yang mutlaq, ini adalah landasan dasar, karena tidak mungkin di dapati perbedaan dalamnya baik lafald dengan lafald[17]. Pemahaman Imam Syafi’i dikuatkan dengan firman allah (QS. 2:132). “Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat”
Dalam menggali hukum didalam Al-Quran Imam Syafi’i lebih menekankan kepada keilmuan bahasa sebagi mana yang telah beliau utarakan bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa arab dengan tujuan agar mudah dipelajari dan dipahami tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam[18]. Imam Syafi’i selalu mencantumkan ayat-ayat Al-Quran setiap kali beliau berfatwah, namun Safi’i menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari Al-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat[19].
Gagasan yang meyangkut keluasan bahasa, pada kenyataannya ia ingin mengatakan bahwa bahas arab tidak mungkin dapat dikuasai dengan sempurna kecuali Nabi, telah kita ketahui bersama bahwa penukilan Al-Quran telah dikenal adanya penukilan Mutwatir dan penukilan Ahad. Imam Syaf’i membenarkan penukilan Mutawatir kaitan untuk diamalkan dan di jadikan hujjah.
2. Al-Sunnah, Arti sunnah yang biasanya disebut dalam Ar-Risalah adalah “khabar”[21] dalam arti istilah ilmu hadist adalah berita, bentuk jama’nya adalah khabar dalam artian yang keseluruhannya datang dari Nabi atau selainnya, penggunaan khabar lebih luas dari pada hadist.
3.Ijma’, Ijma’ yang dimaksud oleh Syafi’i adalah ijma’nya para sahabat, dalam arti perkara yang di putuskan oleh para sahabat dan di sepakati, maka itu menjadi sumber hukum yang ketiga jika tidak ada didalam nash baik Al-Quran maupun hadist, contoh ijma’ yaitu shalat terawih 20 raka’at. Jika terjadi perbedaan diantar para sahabat, maka Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Quran dan sunnah.
4. Qiyas, Qiyas menurut para ahli hukum islam berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip tertetu, perbandingan hukum permasalahan yang baru dibandingkan dengan hukum yang lama, contoh yang diberikan oleh Imam Syafi’i, zakat beras, tulang babi dan lain-lain.Imam Syafi’i sangat membatasi pemikiran analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i tidak bisa independent karena semua yang diutarakan oleh Syafi’i dikaitkan dengan nash Al-Quran dan Sunnah.
c) Metode Ijtihad Imam Syafi’i
Dalam berijtihad Imam Syafi’i menggunakan pemikiran-pemikiran yang jeli dan teliti, kita lihat model ijtihadnya sebagai berikut :
1. Metode induktif (Istiqra’i)
Metode ini lebih menekankan kepada penelitian fakta lapangan, cara ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan waktu terpanjang dan terpendek bagi wanita yang lagi haid, dalam menentukan waktu tersebut Imam Syafi’i melakukan penelitian kepada beberapa wanita yang ada di mesir, hasil penelitian tersebut dihasilkan data yang beragam, ada yang satu hari satu malam, ada yang sepuluh hari dan lima belas hari. Dari data tersebut Imam Syafi’i menyimpulkan bahwa paling cepat masa haid adalah satu hari dan paling lama adalah lima belas hari
2. Metode dialektika (Jadali)
Terkait dengan hukum menikahi anak dari hasil perzinahan,Dalam menetapkan hokum ini syafi’I meruju’ kepada firman allah yaitu surat An-Nisa’ ayat 23, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anak (perempuanmu)”Imam Syafi’i memberi devinisi bahwa yang diharamkan adalah anak dari istri yang telah kamu kawini dengan halal bukan dengan perbuatan haram, jadi kamu boleh menikahi anak istrimu dari hasil perbuatan zina antara kamu dan istrimu, dikarenakan dia bukan anak istrimu yang syah, dan dia tidak memiliki nasab dengan kumu(suami), tetapi kebolehan yang diberikan oleh Imam Syafi’i adalah kebolehan dalam arti Makruh.Jawaban yang diberikan oleh Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa Syafi’i berusaha memberikan suatu eksistensi kekuatan daya nalar terhadap penggalian hukum.
D. IMAM MADZHAB HAMBALI
a). Dinamika Tarikh tasryi’ Pada Masa Imam Hambali
Sebagaimana diketahui bahwa Imam Ahmad dilahirkan di Baghdad, kemudian melakukan perjalanan ke berbagai daerah. Daerah yang pernah dikunjungi adalah Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Syam, dan Yaman. Perjalanan ini dilakukan untuk belajar dan mengumpulkan Hadist, karena perjalanan yang begitu luas dalam mengumpulkan hadist Imam ibn Hambal menurut beberapa ulama’ dikenal dengan ahli hadist bukan imam Fiqh. Akan tetapi Imam Ahmad memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu Fiqih yang berkesan yaitu Imam Syafi’I yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun menjadi murid Imam Syafi’I yang terpenting bahkan menjadi seorang mujtahid mandiri. Orang yang belajar hadist akan mengenalnya seperti halnya orang yang belajar ilmu fiqh. Karena belajar kepada Imam Syafi’I, para pengikut Imam Syafi’I menilai bahwa Ahmad Ibn Hambal adalah pengikut Imam syafi’I, meskipun dalam kasus tertentu ia berijtihad sendiri. Selain Imam Syafi’I yang dikenal menjadi guru Imam Ahmad adalah Abu Yusuf yaitu murid dan penerus Madzhab Hanafi. Akan tetapi dalam proses Tasyri’ Imam Hambali banyak.Terpengaruh oleh Imam Syafi’I, yang masih nelakukan pendekatan tekstual, tidak seperti imam Hanafi yang menggunakan Ra’yu dan Qiyas dalam mengistinbathkan hukum.
b) Sumber-Sumber Hukum Madzhab Hambali
Pendapat-pendapat Ahmad ibn Hambal dibangun atas lima dasar yaitu sebagai berikut:
1. Al-Nushush dari Al-qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia berpendapat sesuai dengan makna yang tersurat , makna yang tersiratnya ia abaikan.
2. Apabila tidak didapatkan dalam Al-qur’an dan Sunnah ia menukil fatwa sahabat memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.[31]
4. Imam Ahmad mengambil hadist mursal dan Dhaif sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya. Dimaksud dengan Dhaif disini bukan Dhaif yang batil dan yang mungkar. Tetapi Dhaif yang tergolong sahih atau hasan. Dalam pandangan imam ahmad, hadist itu tidak terbagi atas sahih, hasan dan dhaif, tetapi terbagi atas dua yaitu shahih dan dhaif saja. Pembagian hadist menjadi shahih, hasan dan dhaif dipopulerkan oleh al-Tirmidzi (209-279 H). Karenanya tidak mengherankan kalau di masa Imam Ahmad pembagian hadist masih kepada shahih dan dhaif. Hadist dhaif ada bertingkat-tingkat. Yang dimaksud dhaif tadi adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan hadist semacam ini lebih utama daripada menggunakan Qiyas. [32]
5. Qiyas adalah digunakan dalam keadaan darurat yaitu bila tidak ada “senjata” yang disebut sebelumnya.
c) Metode Ijtihad Imam Ahmad ibn Hambal
Metode yang di kembangkan oleh ahmad bin hambal adalah Metode Dialektika hal ini dpat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang seatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham.
Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat :
“Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”
Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda :“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah “
Selanjutnya, tokoh yang membaharui dan melengkapi pemikiran Madzhab Hambali, terutama di bidang Mu’amalah adalah Syeikh al-Islam Taqiyudin Ibn Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibn Al-Qayim al-Jauziyyah (Wafat 751 H) murid ibn Taimiyyah. Tadinya pengikut Madzhab Mahbali tidak begitu banyak, setelah dikembangkan oleh dua tokoh tersebut maka madzhab Hambalimenjadi semarak terlebih setelah dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H). dan kini menjadi Madzhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.
E. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Berkembangnya Empat Mazhab
Ada beberapa faktor yang menyebabkan berkembangannya mazhab para imam-imam tersebut antara lain:
1.Pendapat-pendapat imamnya itu dikumpulkan dan dibukukan, hal ini tidak terdapat pada salah satu imam salaf atau mazhab-mazhab yang lain.
2.Adanya murid-murid mereka yang berusaha menyebarluaskan pendapat-pendapat mereka.
3.Adanya kecendrungan imam-imam muslim (penguasa) agar keputusan suatu perkara diberikan oleh hakim yang berasal dari imam mazhab yang ia ikuti[33].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa tersebut. Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
Imam Malik adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal, baik fiqh, al-quran dan hadist, Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu Al-Hadist, maka hal tersebut mempengaruhi pemikiran Imam Malik
Dalam menggali hukum didalam Al-Quran Imam Syafi’i lebih menekankan kepada keilmuan bahasa sebagi mana yang telah beliau utarakan bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa arab dengan tujuan agar mudah dipelajari dan dipahami tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam[34]. Imam Syafi’i selalu mencantumkan ayat-ayat Al-Quran setiap kali beliau berfatwah, namun Safi’i menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari Al-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat[35].
Imam ibn Hambal menurut beberapa ulama’ dikenal dengan ahli hadist bukan imam Fiqh. Akan tetapi Imam Ahmad memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu Fiqih yang berkesan yaitu Imam Syafi’I yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun menjadi murid Imam Syafi’I yang terpenting bahkan menjadi seorang mujtahid mandiri.
B. Saran dan Kritik
Dengan selesainya makalah ini kami sadar bahwasanya makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dar segi materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di kemudian hari kami dapat menyusun makalah lebih baik lagi. Harapan kami makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai salah satu periodisasi yang ada dalam sejarah tasyri’. Amien.
Wallahul muwafieq ila aqwamithariq
Wassalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. Hasan. Perbandingan Mazhab. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995)
Ameanah, Abu Bilah Philip.Asal-Usus dan Perkembangan Fiqh. (Bandung: Nusa Media, 2005)
Tahido Yanggo, Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2003)
Al-Jamal, Hasan. Biografi 10 imam Besar. (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 2003)
Al Mansur, Asep Saifuddin. Kedudukan mazhab dalam syari’at islam. Jakarta: pustaka Al-Husna, 1984)
Abbas, Siradjuddin. Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i.( Jakarta: Pustaka Tarbiah,.1994)
Khalil, Rasyad Hasan. Abdul Fatah Abdullah Al-Barsumi. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami.( Beirut: Dar Al-Fikr, Tanpa tahun)
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)
B. Hallaq, Wael. Melacak Akar-Akar Kontroversi Dalam Pemikiran Hukum Islam. (Surabaya: Sribandi, 2005)
Komentar
Posting Komentar